Senin, 08 November 2010

Etika Bisnis Pancasila

Jika ada pendapat bahwa (ilmu) ekonomi tidak mengajarkan keserakahan sedangkan (ilmu atau praktek) bisnis memang serakah, maka memang yang relevan adalah etika bisnis bukan etika ekonomi atau ekonomi moral. Namun jelas Adam Smith mengajarkan adanya homo ekonomikus atau homo socius atau homo religiousus. Artinya manusia memang mengandung pada dirinya dua sifat yang nampak bertentangan, yaitu sifat-sifat selfish-egois dan sifat-sifat social-symphathetic. Inilah sifat-sifat manusia yang masing-masing digambarkan dalam buku Adam Smith Wealth of Nations (1776) dan The Theory of Moral Sentiments.

Pengertian social economics atau economic sociology (Max Weber) adalah cara lain untuk menggambarkan sifat-sifat sosial manusia. Artinya manusia pada dasarnya suka hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan yang dalam bahasa Jerman dikenal dalam konsep Gemeinschaft (paguyuban) yang dilawankan dengan konsep Gesellschaft (patembayan). Dalam dunia bisnis Jawa ada istilah “Tuna Satak Bati Sanak” yang artinya orang dapat mentoleransi kerugian uang dengan kompensasi bertambahnya persaudaraan (brotherhood).

Dalam dunia perbankan di Indonesia sejak krisis moneter (krismon) tahun 1997, yang belum kunjung teratasi sampai sekarang, terlihat telah berkembang sistem dan praktek perbankan kapitalistik yang tidak etik karena menekankan pada pengejaran untung sebesar-besarnya. Dalam perbankan etik harus dihilangkan atau dikurangi nafsu mengejar untung tanpa batas, tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain. Perbankan etik di Indonesia harus menuju pada upaya-upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.

Meskipun pernah diantara kita menolak tuduhan Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Kapitalisme yang cacatnya disebutkan Keynes di atas, tetapi sekarang lebih banyak orang terang-terangan menerima sistem ekonomi tersebut karena dianggap “tak terelakkan” dan karena sejak 1991 jelas kapitalisme telah terbukti memenangkan persaingan dengan sosialisme.

Kapitalisme yang “bermoral” adalah yang kaum buruh (dan petani untuk Indonesia) ikut serta aktif dalam “manajemen produksi”, yang serius mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan, dan jelas-jelas berusaha meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.

Jika Indonesia pernah menyambut baik sistem sosialisme religius yaitu sistem sosialisme yang aturan-aturan mainnya banyak mengacu pada ajaran-ajaran agama, maka di pihak lain ada yang menganggap lebih tepat menerapkan sistem Kapitalisme Pancasila. Pada hemat kami Pancasila berhak menjadi ideologi, pegangan yang secara penuh menggariskan aturan main, kebijakan dan program-program pembangunan nasional baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.

Etika Bisnis Indonesia yang dapat kita sebut Etika Bisnis Pancasila mengacu pada setiap sila atau perasan-perasannya. Menurut Bung Karno, pada pidato kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila dapat diperas menjadi Sila Tunggal, yaitu Gotong Royong, atau Tri Sila sbb:

1. Socio-nasionalisme (Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan)

2. Socio-demokrasi (Demokrasi/ Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial);

3. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Syarat mutlak dapat diwujudkannya Etika Bisnis Pancasila adalah mengakui terlebih dahulu Pancasila sebagai ideologi bangsa, sehingga asas-asasnya dapat menjadi pedoman perilaku setiap individu dalam kehidupan ekonomi dan bisnis sehari-hari. Baru sesudah asas-asas Pancasila benar-benar dijadikan pedoman etika bisnis, maka praktek-praktek bisnis dapat dinilai sejalan atau tidak dengan pedoman moral sistem Ekonomi Pancasila.

Oleh Prof. Dr. Mubyarto

Disadur dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_1.htm

Hal-hal Yang Perlu Diperharikan Untuk Menciptakan Etika Bisnis

1. Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi

Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

4. Menciptakan persaingan yang sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah

Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama

Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati

Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.

Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.

disadur dari http://library.usu.ac.id/download/fe/manajemen-ritha8.pdf

Moral Dan Etika Dalam Dunia Bisnis

Moral Dalam Dunia Bisnis

Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang kala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.

Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.

Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan ?

Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.

Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?

Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.

Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Etika Dalam Dunia Bisnis

Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?

Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

disadur dari

http://library.usu.ac.id/download/fe/manajemen-ritha8.pdf

Etika bisnis atau manajemen risiko?

Tat kala krisis subprime mortgage mengguncang Amerika Serikat, riak gelombangnya ikut menerpa pasar keuangan dan perekonomian global. Lantas pertanyaan mengenai etika pun mengemuka. Seperti yang diungkap Kostigen, bisnis subprime mortgage dibangun di atas fondasi etika yang rapuh.

Subprime mortgage sebenarnya disediakan bagi mereka yang sebenarnya tidak layak untuk memeroleh kredit perumahan. Mereka yang meminjam melalui subprime mortgage memiliki catatan kredit yang buruk serta bersedia membayar tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

Namun, karena menjanjikan tingkat pengembalian finansial yang tinggi, maka pemberi pinjaman berlomba-lomba menawarkan pinjamannya, tanpa memerhatikan kesulitan yang mungkin akan dihadapi oleh para debitor pada masa depan.

Akibat krisis subprime mortgage ini, banyak bank serta lembaga penyalur kredit perumahan lainnya mengalami kerugian yang cukup signifikan. Hingga menjelang akhir November 2007, jumlah kerugian yang berhubungan dengan subprime mortgage yang dialami oleh banyak bank telah mencapai lebih dari US$30 miliar.

Banyak perusahaan lain di seluruh dunia juga mengalami jumlah kerugian yang signifikan, bahkan beberapa penyalur kredit perumahan mengalami kebangkrutan. Manajemen puncak juga tak luput dari sasaran, seperti CEO Merrill Lynch dan Citigroup yang dipaksa untuk mengundurkan diri.

Kabar terakhir, akibat dari krisis subprime mortgage, Citigroup dikabarkan akan memecat 45.000 dari 320.000 orang. Ini kedua kalinya bank itu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada April, PHK dilakukan terhadap 17.000 karyawan.

Beberapa tahun terakhir ini subprime mortgage menjadi market niche yang menguntungkan bagi pemberi pinjaman kredit kepemilikan rumah di AS karena menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi, dengan prediksi bahwa harga rumah akan terus mengalami kenaikan. Namun, permintaan terhadap perumahan yang menurun secara tiba-tiba mengakibatkan banyak debitor yang mengalami kesulitan dalam melunasi pembayarannya, sebuah risiko yang kemungkinan kurang diperhitungkan oleh para pemberi pinjaman.

Etika bisnis

Pelanggaran terhadap etika bisnis selalu dipicu oleh godaan terhadap keuntungan jangka pendek yang menggiurkan. Pelanggaran terhadap etika acap baru terbukti dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Sejarah telah menunjukkan bahwa ketidakpedulian perusahaan terhadap etika bisnis dapat mengakibatkan kehancuran perusahaan dalam waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kehancuran perusahaan akibat kesalahan dalam penilaian dan kebijakan bisnis namun tetap memperhatikan etika bisnis.

Akibat buruk dari perilaku yang tidak etis bukan hanya akan menimpa perusahaan itu sendiri namun juga menimpa masyarakat secara umum. Seperti dalam kasus subprime mortgage di atas, kerugian juga menimpa banyak investor di berbagai pasar saham di dunia, akibat berkurangnya nilai aset yang mereka miliki.

Perilaku bisnis yang tidak etis akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Selain melahirkan persepsi yang buruk di mata masyarakat, dampak negatif lainnya adalah menurunnya moral karyawan akibat beban psikologis karena bekerja pada perusahaan yang memiliki citra buruk, terpaksa dikeluarkannya biaya untuk mengatasi citra buruk yang ada, dan ketidakpercayaan publik terhadap segala tindakan yang dilakukan perusahaan di masa depan.

Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa setiap sistem etika bisnis harus mengakui adanya keterkaitan antara aktivitas bisnis dan kehidupan di luar bisnis yang akan memengaruhi bukan hanya karyawan, namun juga teman, keluarga, dan masyarakat secara umum.

Keputusan bisnis juga merupakan bagian dari keputusan dalam kehidupan secara keseluruhan yang memiliki dampak melewati batas-batas ruang kerja. Jadi perilaku bisnis yang etis bukan hanya bagian dari norma perusahaan, tetapi juga norma masyarakat secara keseluruhan.

Manajemen risiko

Namun, tidak seperti skandal Enron dan WorldCom, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran etika bisnis, kasus subprime mortgage barangkali masih berada di wilayah abu-abu. Benarkah karena pelanggaran etika bisnis atau manajemen risiko yang tidak berjalan dengan semestinya?

Penerapan manajemen risiko yang terintegrasi, akan dapat menangkal terjadinya krisis semacam ini. Berbagai risiko diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya risiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur.

Melalui pengelolaan risiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.

Pada galibnya, proses bermula dari analisis secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisis kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap risiko yang ada. Namun, identifikasi saja tidaklah cukup.

Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi risiko dengan baik sehingga tahu benar risiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, tetapi salah dalam melakukan antisipasi.

Pertanyaannya, untuk perusahaan sekelas Citigroup seharusnya sudah memiliki manajemen risiko yang cukup canggih, seberapa besar kemungkinannya mengalami kesalahan antisipasi? Disinilah pertanyaan muncul, adakah masalah etika bisnis di dalamnya?

Oleh: A. B. Susanto

Kasus-kasus Etika Bisnis

1. Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Hukum

Sebuah Perusahaan X, karena kondisi perusahaan yang pailit, akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK tersebut perusahaan sama sekali tidak memberikan pesangan, sebagaima diatur dalam UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam kasus ini Perusahaan X dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan hukum

2. Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Akuntabilitas

Sebuah Rumah Sakit swasta melalui pengurusanya mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS, otomatis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah satu karyawan di Rumah Sakit tersebut mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus, karena menurut pendapatnya, ia diangkat oleh pengelola, dalam hal ini Direktur Rumah Sakit, sehingga segala hal dan kewajibannya yang berhubungan dengan pengelola bukan pengurus. Pihak pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.

Dari kasus ini Rumah Sakit tersebut dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas, karena tidak ada kejelasan fungsi pelaksana dan pertanggung jawaban antara pengelola dan pengurus Rumah Sakit

3. Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Pelayanan

Ketersediaan energi listrik sangat vital bagi kehidupan masyarakat indonesia. Terobosan demi terobosan harus dicari demi berakhirnya giliran pemadaman listrik oleh PLN yang merugikan usaha dan masyarakat. Beberapa tahun terakhir ini hampir setiap hari kabar pemadaman bergilir merebak disejumlah daerah.

Dari sudut ekonomi listrik di Indonesia merupakan hambatan untuk menungkatkan daya saing. Hal ini dapat menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. PLN melakukan upaya mengenai krisis listrik diantaranya menghimbau masyarakat melakukan penghematan pemakaian listrik. Upaya lain yang dilakukan PLN adalah menambah pasokan listrik melalui proyek pembangkit listrik 10.000 mega watt (MW) dengan dominasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Sejak tahun 2006 sekitar 34 proyek PLTU yang tersebar di pulau Jawa dan Luar Jawa dicanangkan. Pengerjaan proyek ini tidak berjalan mulus karena komitmen pendanaan dari lembaga keuangan beberapa negara seperti Tiongkok mengalami menegosiasi akibat krisis ekonomi.

Dalam kasus ini PLN dapat dikatakan melanggar pelayanan prima bagi masyarakat maupun dunia bisnis.

Komentar :

Dari ketiga kasus di atas sudah jelas bahwa pelanggaran etika bisnis biasanya berasal dari suatu instansi atau perusahaan. Untuk kasus nomor satu dan tiga kadang mereka para pengusaha dan manajemen pihak perusahaan merasa masyarakatlah selaku karayawan yang membutuhkan mereka sehingga muncul kebijakan semena-mena yang akhirnya merugikan karyawan. Padahal dilain pihak, perusahaan juga membutuhkan karyawan untuk melakukan proses usaha mereka. Perusahaan dan karyawan adalah dua sisi dan saling membutuhkan, oleh sebab itu semua prosedur hak maupun kewajiban perusahaan dan karyawan sudah jelas diatur dalam peraturan ketenaga kerjaan yang sepatutnya dijalankan sesuai koridor yang ada. Pihak serikat pekerja pun seharus menjadi pihak penengah bila terjadi konflik antar kedua belah pihak, tetapi kenyataan banyak dari pihak serikat pekerja yang akhirnya membela perusahaan dan mengesampingkan hak dari karyawan demi keuntungan pribadi. Untuk itu dalam menyikapi kasus nomor satu dan dua kuncinya adalah keterbukaan komunikasi antara kedua belah pihak, apabila ada kebijakan perusahaan yang akan diturunkan ke karyawan maka seharusnya pihak perusahaan membuat dan menyampaikan peraturan tersebut secara resmi dan beretika, terbuka dan sesuai tatacara yang diatur dalam UU ketenagakerjaan.

Untuk kasus nomor tiga dalam kasus ini PLN memang sudah seharusnya mencari terobosan baru untuk masalah stok listrik, bagaimana mencari jalan keluar agar sumber energi yang digunakan untuk listrik tidak kehabisan. Menginformasikan masyarakat akan adanya pemadaman bergilir dan kampanye hemat listrik adalah cara yang tetap untuk saat ini, tetapi PLN juga seharusnya tidak hanya diam menghadapi protes dari masyarakat akibat kerugian yang diderita akibat pemadaman listrik. Seharusnya ada kompensasi atas kerugian yang diderita masyarakat akibat pemadaman listrik tersebut, dan menindak tegas kasus-kasus pencurian listrik yang sudah sering terjadi. Ini adalah PR utama untuk PLN bagaimana menyikapi kasus yang terjadi jangan sampai PLN sebagai perusahaan monopoli pemasok listrik di Indonesia digantikan oleh pihak swasta yang bisa dan mau lebih sungguh-sungguh dalam menyikapi kondisi yang terjadi.