Senin, 08 Maret 2010

Karangan (Kisah Pak Sabar)


Kisah Pak Sabar


Ini adalah kisah seorang bernama Raka dan seorang guru bernama Pak Sabar, Pak sabar adalah seorang guru dan juga tokoh masyarakat yang sangat disegani dan terkenal bijaksana dikampungnya.

Raka adalah murid kesayangan Pak Sabar yang suka belajar, pintar, sifatnya baik dan mendapat beasiswa di sekolahnya. Pada suatu hari ketika Raka sedang pergi ke suatu pasar dikampungnya, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat. Pembeli berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24? "Raka mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi". Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Raka dan berkata: "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke gurumu Pak Sabar. Benar atau salah Pak sabar yang berhak mengatakan". Raka: "Baik, jika Pak Sabar bilang kamu salah, bagaimana?" Pembeli kain: "Kalau pak Sabar bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?" Raka: "Kalau saya yang salah, semua uang beasiswaku untukmu".

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Pak Sabar. Setelah Pak Sabar tahu duduk persoalannya, Pak Sabar berkata kepada Raka sambil tertawa: "3x8 = 23. Raka, kamu kalah. Kasihkan uang beasiswamu kepada dia." Selamanya Raka tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Pak Sabar mengatakan dia salah, lalu dia berikan semua uang beasiswanya kepada pembeli kain.

Orang itu mengambil semua uang beasiswa Raka dan berlalu dengan puas. Walaupun Raka menerima penilaian Pak Sabar tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Pak Sabar sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Raka minta ijin tidak bersekolah dengan alasan urusan keluarga. Pak Sabar tahu isi hati Raka dan memberi ijin padanya. Sebelum berangkat, Raka pamitan dan Pak Sabar memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Raka dua nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh." Raka bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Raka ingin berlindung di bawah pohon tapi tibatiba ingat nasehat Pak Sabar dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Raka terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.


Apakah saya akan membunuh orang? Raka tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu orang dirumah. Dia menggunakan pisau untuk membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang. Dia sangat marah, dan mau menghunus pisau, Raka berfikir kalau itu adalah maling. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Pak Sabar, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur adalah adik sepupunya yang baru saja tiba dan sedang berkunjung.

Pada keesokan harinya, Raka kembali ke Pak Sabar, berlutut dan berkata: "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?" Pak Sabar berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya aku mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pisau, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh". Raka berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, aku sangatlah kagum." Pak Sabar bilang: "Aku tahu kamu minta ijin bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan semua uang beasiswamu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, uang beasiswamu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?" Raka sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, aku malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Aku benar2 malu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar